
Tjilik Riwut adalah salah satu tokoh besar yang dimiliki Kalimantan, terutama Kalimantan Tengah. Sejak muda, ia dikenal pemberani, cerdas, dan memiliki jiwa nasionalis yang kuat. Pada masa pendudukan Jepang, Tjilik Riwut mengambil langkah berani dengan masuk ke dalam intelijen militer Jepang. Tentu saja ia bukan benar-benar berpihak kepada Jepang, melainkan menjadikan posisi tersebut sebagai cara untuk memperoleh informasi penting yang bisa digunakan demi kepentingan perjuangan. Dari sinilah terlihat kecerdikan dan keberaniannya, karena ia tidak hanya melawan penjajah dengan senjata, tetapi juga dengan strategi dan pemikiran yang matang.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, perjuangan belum berakhir karena Belanda berusaha kembali menjajah. Dalam situasi ini, Tjilik Riwut tampil sebagai pemimpin yang mampu menghimpun kekuatan rakyat Kalimantan. Ia membentuk pasukan bersenjata yang kemudian dikenal dengan nama Pasukan Tjilik Riwut. Pasukan ini bergerak melakukan perang gerilya di pedalaman Kalimantan untuk menentang Belanda. Salah satu peristiwa penting adalah operasi penerjunan pada tahun 1946, ketika Tjilik Riwut dan pasukannya diterjunkan dari udara ke hutan Kalimantan untuk memperkuat perjuangan di daerah tersebut. Walaupun menghadapi keterbatasan senjata dan banyak tantangan berat, keberanian pasukan ini menjadi bukti nyata bahwa rakyat Kalimantan ikut berperan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Perjuangan Tjilik Riwut tidak berhenti pada masa perang. Setelah situasi mulai stabil, ia kemudian terjun ke dunia pemerintahan. Pada tahun 1958, ia diangkat menjadi gubernur pertama Kalimantan Tengah, tepat setahun setelah provinsi tersebut resmi dibentuk. Tugas yang diembannya sangat besar, karena Kalimantan Tengah saat itu masih minim pembangunan dan membutuhkan pemimpin yang visioner. Tjilik Riwut dengan semangat dan dedikasinya berhasil meletakkan fondasi pembangunan daerah, salah satunya dengan mengembangkan Palangka Raya sebagai ibu kota provinsi. Ia juga mendorong persatuan masyarakat Dayak agar tidak terpecah belah. Selain itu, Tjilik Riwut sempat duduk sebagai anggota DPR RI, sehingga perannya tidak hanya terbatas di Kalimantan, tetapi juga menjangkau tingkat nasional.
Selain banyaknya peran yang diambil oleh Tjilik Riwut, beliau juga memiliki nilai-nilai yang dapat kita teladankan, seperti keberaniannya melawan penjajah. Keberanian ini tidak hanya dalam bentuk angkat senjata, tetapi juga keberanian mengambil keputusan dan strategi. Misalnya, saat ia bergabung dalam intelijen Jepang, ia melakukannya bukan untuk sekadar ikut serta, melainkan memanfaatkan kesempatan itu untuk mengumpulkan informasi yang berguna bagi perjuangan bangsa. Keberanian Tjilik Riwut juga tampak ketika ia memimpin pasukan bersenjata untuk melawan Belanda pasca proklamasi. Ia tahu risikonya sangat besar, bahkan nyawa bisa menjadi taruhannya, tetapi ia tetap maju karena yakin bahwa perjuangan demi kemerdekaan lebih penting dari rasa takut. Dari sikap ini, kita belajar bahwa keberanian adalah modal utama dalam menghadapi tantangan hidup, baik di masa perang maupun dalam kehidupan sehari-hari sekarang.
Selain keberanian, nasionalisme juga menjadi nilai penting yang diwariskan oleh Tjilik Riwut. Sebagai seorang putra Dayak, ia tidak hanya berjuang untuk kepentingan sukunya saja, melainkan mengangkat bendera merah putih dan berjuang untuk seluruh bangsa Indonesia. Nasionalismenya terlihat jelas ketika ia rela meninggalkan kenyamanan hidup demi bergabung dengan perjuangan di Jawa, kemudian kembali ke Kalimantan untuk membangkitkan semangat rakyat melawan Belanda. Ia memahami bahwa kemerdekaan Indonesia harus diperjuangkan bersama, tanpa memandang suku, agama, atau daerah asal. Sikap ini sangat relevan untuk kita teladani sekarang, bahwa rasa cinta tanah air tidak cukup hanya dengan ucapan, melainkan harus diwujudkan dengan tindakan nyata, misalnya menjaga persatuan, menghargai perbedaan, dan berkontribusi sesuai kemampuan kita masing-masing.
Nilai lain yang sangat menonjol dari Tjilik Riwut adalah pantang menyerah. Perjuangan yang ia jalani penuh rintangan, mulai dari kekurangan senjata, kondisi medan yang berat, hingga risiko ditangkap musuh. Bahkan, pada operasi penerjunan 1946, sebagian besar pasukannya tertangkap Belanda, namun hal itu tidak membuatnya mundur. Ia terus berjuang dengan sisa kekuatan yang ada, sambil tetap membangkitkan semangat rakyat Kalimantan. Setelah Indonesia merdeka pun, ia tidak berhenti, melainkan melanjutkan perjuangan dalam bentuk pembangunan ketika menjadi gubernur pertama Kalimantan Tengah. Sikap pantang menyerah ini menjadi pelajaran penting bahwa dalam meraih tujuan besar, pasti ada hambatan dan kegagalan, tetapi justru itulah yang menguji keteguhan kita. Semangat pantang menyerah inilah yang harus kita bawa dalam kehidupan sekarang, baik dalam belajar, bekerja, maupun berkarya untuk bangsa.
Perjuangan Tjilik Riwut juga memberikan banyak nilai-nilai yang berkaitan dengan nilai di Kitab Suci, salah satunya tentang cinta kasih dan pengorbanan. Dari kisah hidupnya, kita melihat bahwa ia rela meninggalkan kenyamanan pribadi demi bangsa. Cinta kasihnya tidak terbatas pada keluarga atau sukunya saja, melainkan mencakup seluruh rakyat Indonesia. Keputusan untuk terjun langsung dalam perjuangan menunjukkan betapa besar pengorbanannya. Ia sadar bahwa kemerdekaan tidak bisa diperoleh tanpa keberanian untuk memberi yang terbaik, bahkan nyawa sekalipun. Nilai ini sejalan dengan ajaran kitab suci yang menekankan bahwa kasih sejati diwujudkan melalui pengorbanan nyata.
Selain itu, dalam perjuangannya juga tercermin nilai keadilan dan kemanusiaan. Tjilik Riwut melawan penjajahan karena ia tidak rela bangsanya terus ditindas. Baginya, setiap manusia memiliki hak yang sama untuk hidup merdeka dan bermartabat. Sikapnya ini menunjukkan bahwa perjuangan bukan sekadar soal politik atau kekuasaan, melainkan tentang kemanusiaan. Ia ingin menghadirkan keadilan bagi rakyatnya, terutama mereka yang hidup sederhana di pedalaman Kalimantan. Nilai ini juga sejalan dengan pesan kitab suci agar manusia selalu membela kebenaran dan menghormati sesama.
Meskipun banyaknya nilai dalam kitab suci namun perjuangan Tjilik Riwut juga berkaitan dengan 5 keutamaan Vinsensian. Untuk yang pertama yaitu nilai kesederhanaan. Kehidupannya mencerminkan kesederhanaan, walaupun pernah menduduki jabatan penting sebagai gubernur, ia tetap hidup dekat dengan rakyat. Tjilik Riwut tidak mengejar kemewahan, melainkan memilih tetap sederhana agar bisa memberi teladan bagi masyarakat. Kesederhanaannya membuat ia lebih mudah diterima rakyat, karena ia tidak berjarak dengan mereka. Sikap ini sejalan dengan keutamaan Vinsensius yang mengajarkan bahwa kesederhanaan adalah kunci untuk melayani sesama dengan tulus.
Nilai yang kedua adalah matiraga, yaitu kemampuan menahan diri dan berdisiplin demi tujuan yang lebih mulia. Dalam perjuangannya, Tjilik Riwut sering menghadapi penderitaan, mulai dari tugas berat sebagai penerjun pejuang sampai memimpin daerah di masa sulit setelah kemerdekaan. Semua itu ia jalani dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Ia tidak mudah menyerah, karena tahu bahwa pengorbanan itu penting untuk mencapai cita-cita bersama. Semangat matiraga inilah yang membuat perjuangannya layak dikenang dan diteladani oleh generasi sekarang.