Esai Mgr. Albertus Soegijapranata – Kelompok 3

Albertus Soegijapranata adalah uskup pribumi pertama di Indonesia sekaligus pahlawan nasional yang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beliau dikenal dengan semboyan “100% Katolik 100% Indonesia”.


Albertus Soegijapranata, yang dikenal sebagai Soegija (nama sebelum dibaptis), lahir di Surakarta pada 25 November 1896. Albertus Soegijapranata mulai menumbuhkan imanKatoliknya setelah Pr. Frans van Lith, imam Yesuit, mengajaknya bergabung dalam KoleseXaverius. Selain itu, Pr. Frans van Lith memperkenalkan ajaran Katolik kepadaSoegijapranata. Walaupun orang tuanya tidak setuju, Soegijapranata pun kemudianmendalami ajaran Katolik dan dibaptis dengan nama Albertus.

Soegijapranata meneruskan pendidikan imamat di Belanda di Kolese Berchmann dan Maastricht pada tahun 1919 dan ditahbiskan imam pada 15 Agustus 1931. Dua tahun setelah penahbisannya, ia kemudian kembali ke Hindia Belanda sebagai pastor.


Ditugaskan sebagai vikaris apostolik, Soegijapranata menghadapi berbagai tantangan, terutama pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942. Segala hal berbau barat dihapuskan, termasuk pengambil alihan gereja dan pembunuhan pastor. Akan tetapi, Soegijapranata tidak hanya berdiam diri. Ia berusaha mengalihkan tentara Jepang kepada gedung lain dan mempertaruhkan nyawanya untuk mencegah penyitaan, bergabung dengan Abdi Dalam Sang Kristus (ADSK) dan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMKRI), dan bahkan mengirim surat ke Kekaisaran Jepang dengan harapan untuk menghentikan pertempuran.


Pasca proklamasi pun, Soegijapranata masih aktif berperan merawat korban pendudukan Jepang maupun sebagai mediator pertempuran, seperti turun tangan bertemu komandan Jepang dan Sekutu pada Pertempuran 5 Hari di Semarang, berpidato mewakili umat Katolik yang mendukung sebagai rakyat Indonesia setelah perjanjian Linggarjati, menulis kritik terhadap Belanda di majalah Commonwealth pada masa penugasan Belanda di Yogyakarta, serta menyelenggarakan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI 1949) untuk mempertemukan pemimpin gereja dan pemimpin republik.


Perjuangan Soegijapranata tak hanya berakhir sampai disitu saja, ia tetap memperjuangkan perkembangan agama Katolik di Indonesia dengan membujuk klerus-klerus menjadi warga negara Indonesia saat Kementrian Agama membatasi aktivitas misionaris asing (1953) dan melakukan reformasi Gereja agar semakin bernuansa Indonesia. Ia juga aktif menentang komunisme, materialisme, dan Marxisme, serta tangguh dalam pendiriannya yang menolak Nasakom walau ditawarkan jabatan sebagai Dewan Nasional.


Berkat perjuangannya, pada 3 Januari 1961, Soegijapranata diangkat sebagai uskup agung dan diberi kesempatan untuk bergabung dalam sesi pertama Konsili Vatikan II di Basilika Santo Petrus. Namun, kondisi kesehatannya memburuk dan ia meninggal di Belanda pada 22 Juli 1963, lalu dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang setelah diakui sebagai Pahlawan Nasional pada 26 Juli 1963.


Soegijapranata memiliki peran penting untuk menguatkan patriotisme umat Katolik sekaligus memberikan dukungan politik untuk rakyat Indonesia. Ia menerapkan ayat Kitab Suci “Barangsiapa ingin menjadi terbesar di antara kami, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Matius 20:26). Dengan berpegangan pada ayat tersebut, Soegijapranata menolak tawaran untuk menjadi anggota Dewan Nasional agar dapat tetap setia menjalankan panggilannya sebagai gembala yang melayani umat-umatnya. Soegijapranata juga menghidupi pesan dari ayat alkitab 2 Timotius 1:7 yang terbaca “Allah tidak memberikan kepada kita roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan keterlibatan”. Soegijapranata tidak takut untuk berjuang bagi Indonesia. Ia berani menghadapi tentara Jepang, menulisi kritik kepada Belanda, dan ia dengan tegas menolak ideologi komunisme yang bertentangan dengan iman Katolik. Keterlibatan Soegijapranata sangat besar bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia, perjuangannya tidak pernah lepas dari Kitab Suci dan perannya telah membawa kasih, kerendahan hati, keberanian, dan keadilan bagi bangsa Indonesia.


Karakter dan tindakan konkrit dari Soegijapranata juga relevan dengan nilai-nilai Vinsensian dalam hal pelayanan kepada sesama, terutama kerendahan hati (humility), mati raga (mortification), dan penyelamatan jiwa-jiwa (zelus animarum). Kerendahan hatinya diuji ketika ia harus teguh dengan pendiriannya dan menahan godaan kekuasaan yang lebih besar, seperti tawaran Ir. Soekarno kepada Soegijapranata untuk menjadi Dewan Nasional. Ketangguhan dan keberanian pun terlihat dalam dirinya dari kerelaannya untuk mempertaruhkan nyawa ketika berhadapan dengan Jepang demi melindungi gereja dan umat. Ia sama sekali tidak terbuai untuk berkompromi dengan komunisme. Ia juga memiliki semangat pelayanan yang tinggi bagi rakyat Indonesia maupun umat Katolik di Indonesia. Albertus Soegijapranata adalah sosok penggembala umat sekaligus pahlawan bangsa yang telah memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan Indonesia. Dari kisahnya, kita dapat mempelajari bagaimana iman dan cinta tanah air adalah dua hal yang tak terpisahkan dengan kerendahan hati dan mati raga. Seluruh hidupnya mencerminkan nilai-nilai Kitab Suci dan nilai Vinsensian yang menjadikan dirinya teladan bagi umat Katolik.


Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *