Artikel Tjilik Riwut – Kelompok 6

Tjilik Riwut dikenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan dan pembangunan Kalimantan Tengah yang meninggalkan banyak teladan berharga. Nilai-nilai yang beliau tanamkan tidak hanya relevan pada masanya, tetapi juga penting untuk dijalankan oleh generasi muda saat ini. Di tengah perubahan zaman yang serba cepat, semangat perjuangan, keberanian, toleransi, dan pengabdian tanpa pamrih dari Tjilik Riwut bisa menjadi inspirasi untuk membangun bangsa yang lebih maju dan berkarakter.


Nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan saat ini, misalnya mengekspresikan nasionalisme melalui kontribusi di bidang teknologi, pendidikan, atau pelestarian budaya lokal. Generasi muda juga bisa meneladani pengabdian tanpa pamrih dengan peduli pada lingkungan, masyarakat, dan negara. Keberanian serta keteguhan hati diperlukan untuk menghadapi tantangan seperti korupsi, intoleransi, dan ketidakadilan sosial. Semangat kebhinekaan dan toleransi juga semakin penting di tengah isu perbedaan yang dapat memecah belah. Selain itu, teladan Tjilik Riwut dalam membangun daerah bisa diwujudkan dengan inovasi serta kolaborasi bagi kemajuan wilayah masing-masing. Terakhir, pendidikan dan literasi, termasuk literasi digital, menjadi bekal utama untuk menyaring informasi dan membangun masyarakat yang cerdas.


Nilai-nilai yang bisa didapatkan dari Tjilik Riwut, seperti keberanian, nasionalisme, pantang menyerah, keadilan, dan kesederhanaan tetap diperlukan untuk menjaga keutuhan dan martabat bangsa. Masalah yang kita hadapi hari ini seperti korupsi, ketidakadilan, dan intoleransi tidak kalah berat dibanding masa perjuangan fisik melawan penjajah.


Pertama, Keberanian Tjilik Riwut nyata terlihat saat ia bergabung dengan intelijen Jepang, bukan untuk mendukung penjajah, melainkan untuk mengumpulkan informasi penting bagi perjuangan bangsa. Ia juga berani memimpin pasukan bersenjata di pedalaman Kalimantan melawan Belanda pasca Proklamasi Kemerdekaan. Nilai keberanian ini tetap relevan bagi masyarakat di masa kini karena masyarakat saat ini juga perlu berani melawan ketidakadilan, korupsi, dan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Tanpa keberanian, masyarakat akan diam membiarkan ketidakadilan merajalela.


Kedua, nasionalisme Tjilik Riwut tampak ketika ia meninggalkan kenyamanan hidupnya di Kalimantan untuk ikut berjuang di Jawa bersama pejuang lain, lalu kembali membangkitkan semangat rakyat Dayak melawan Belanda. Ia tidak hanya berjuang untuk sukunya, melainkan untuk seluruh bangsa Indonesia. Nilai ini sangat relevan di masa sekarang, ketika masyarakat harus menjaga persatuan di tengah ancaman disintegrasi dan intoleransi.


Ketiga, perjuangan Tjilik Riwut belum berakhir pasca Proklamasi Kemerdekaan karena Belanda berusaha kembali untuk menjajah Indonesia. Dalam situasi ini, Tjilik Riwut tampil sebagai pemimpin yang mampu menghimpun kekuatan rakyat Kalimantan. Semangat pantang menyerahnya terlihat jelas dalam operasi penerjunan pada tahun 1946, ketika Tjilik Riwut dan pasukannya diterjunkan dari udara ke hutan Kalimantan untuk memperkuat perjuangan di daerah tersebut. Walaupun menghadapi keterbatasan senjata dan sebagian besar pasukannya tertangkap Belanda, ia tetap berjuang dengan sisa kekuatan yang ada. Bahkan setelah perang, ia tidak berhenti, melainkan melanjutkan perjuangan lewat pembangunan ketika menjadi gubernur pertama Kalimantan Tengah. Nilai ini penting bagi generasi sekarang bahwa kegagalan dan keterbatasan bukan alasan untuk berhenti berusaha.


Keempat, Tjilik Riwut merasa bahwa Katolik bukan hanya sekedar identitas, melainkan adalah pedoman hidup yang menyatu dengan perjuangan dan pelayanan. Dalam hidupnya, beliau sangat mengimani ajaran Rasul Yakobus “Iman tanpa perbuatan adalah mati”. Melalui ajaran tersebut, beliau mempersembahkan seluruh hidupnya sebagai tindakan kasih, menggabungkan kasih terhadap rakyat, tanah air, dan Allah yang hidup di tengah sejarah manusia. Tjilik Riwut menganggap jabatannya sebagai bentuk pelayanan, bukan sebagai kekuasaan semata. Nilai ini juga relevan bagi masyarakat di masa kini karena Tjilik Riwut mencerminkan pribadi yang memandang jabatan sebagai pelayanan, bukan sekadar kekuasaan. Nilai ini juga penting karena masyarakat modern perlu menghidupi iman melalui tindakan nyata agar tercipta keadilan sosial.


Relevansi nilai-nilai ini tampak jelas dari berbagai landasan. Secara konstitusional, UUD 1945 menegaskan tujuan negara untuk melindungi seluruh bangsa dan mewujudkan keadilan sosial. Pasal 28H juga menjamin hak warga atas kesejahteraan, kesehatan, dan lingkungan hidup yang baik. Semangat ini tercermin dalam perjuangan Tjilik Riwut yang membela persatuan, memperjuangkan pembangunan merata di pedalaman Kalimantan, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat kecil. Artinya, perjuangannya merupakan wujud nyata pelaksanaan mandat konstitusi yang masih relevan hingga kini. Dari sisi akademis, penelitian terbaru menegaskan pentingnya nilai kejujuran, keberanian, dan tanggung jawab sebagai fondasi pendidikan karakter, sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang membentuk manusia berkarakter, bukan sekadar cerdas intelektual.


Dari landasan Kitab Suci, nilai pengorbanan sejalan dengan pengajaran Kristus. Injil Yohanes 15:13 ditegaskan: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Ayat ini menekankan bahwa kasih sejati selalu menuntut keberanian untuk berkorban. Dalam tradisi Katolik, kasih dan pengorbanan menjadi inti dari iman Kristen yang diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar doa atau ritual. Hal ini tampak dalam spiritualitas Vinsensian, sebagaimana diteladankan oleh Santo Vinsensius a Paulo. Beliau menekankan pelayanan penuh kasih kepada kaum miskin, sakit, dan terpinggirkan sebagai wujud konkret cinta kepada Allah. Prinsip Vinsensian, Caritas Christi Urget Nos yang berarti kasih Kristus mendorong kita, menjadi panggilan bagi umat Katolik untuk menyalurkan keberanian, kesederhanaan, dan pengorbanan demi sesama. Dengan demikian, nilai keberanian, pengorbanan, dan cinta kasih yang diwariskan oleh Tjilik Riwut sejalan dengan ajaran Katolik dan spiritualitas Vinsensian, yang melihat pelayanan kepada sesama sebagai panggilan suci.


Relevansi nilai-nilai tersebut tidak boleh berhenti sebagai wacana, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Pendidikan menjadi sarana utama menanamkan kembali keberanian, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah. Proses belajar tidak cukup berfokus pada teori, tetapi perlu memberi pengalaman langsung melalui kerja bakti, pelayanan sosial, atau proyek lintas budaya. Sehingga, pendidikan karakter benar-benar membentuk manusia yang cerdas sekaligus berkarakter. Selain pendidikan, pemimpin publik juga memiliki peran penting. Nilai perjuangan tidak berarti tanpa teladan nyata dari mereka yang berkuasa. Meski Tjilik Riwut adalah gubernur pertama Kalimantan Tengah, ia tetap sederhana dan dekat dengan rakyat. Keteladanan ini harus menjadi inspirasi bagi pemimpin masa kini untuk menjaga integritas dan berani bertindak demi rakyat.


Kebijakan publik pun harus berdasarkan pada keadilan sehingga nilai nasionalisme sejati bukanlah sekadar simbol, tetapi pembangunan yang dirasakan pada semua masyarakat sosial. Pemerintah juga perlu memastikan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan hukum yang merata hingga pedalaman, sebagaimana diperjuangkan Tjilik Riwut. Tanpa keadilan, rasa kebangsaan mudah melemah. Namun, tugas untuk menjaga nilai perjuangan juga kewajiban semua warga. Gereja, sekolah, dan komunitas dapat menumbuhkan keberanian, persatuan, dan pengorbanan melalui pelayanan, advokasi, kepedulian lingkungan, dan dialog antarumat. Dengan begitu, nilai perjuangan hadir dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar wacana politik.


Semua relevansi yang dilakukan ini juga perlu berlandaskan pada kehidupan spiritualitas. Dalam Injil Yohanes 15:13 menegaskan bahwa kasih sejati diwujudkan dalam pengorbanan. Spiritualitas Vinsensian pun mengajak hidup sederhana, rela berkorban, dan melayani yang miskin serta terpinggirkan. Prinsip Caritas Christi Urget Nos yang berarti kasih Kristus yang mendorong kita harus terus dihidupkan. Oleh karena itu, warisan Tjilik Riwut bukan hanya  sekadar sejarah, melainkan pedoman masa kini. Keberanian, keadilan, dan kasih sejati harus menjadi fondasi bangsa agar Indonesia mampu tetap kokoh, bersatu, dan bermartabat di tengah tantangan zaman.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *