Artikel Mgr. Albertus Soegijapranata – Kelompok 3

You need an attitude to survive. You’re not just serving yourself. You help others to grow up and you grow with them. -Oprah Winfrey

Foto Resmi Soegijapranata

Era demi era telah berganti dan seiring dengan itu membawa berbagai perubahan baik dalam hal kecil maupun hal besar. Di dalam waktu yang terus berganti ini, tentu kita terhadapi dengan berbagai permasalahan duniawi, baik dalam lingkup keluarga, pribadi, sekolah, pekerjaan, maupun masyarakat. Pastinya permasalahan ini akan memberi rasa tidak nyaman di hati, bisa dalam bentuk kejengkelan, iri hati, dan lain-lain. Sikap yang harus kita miliki dalam menghadapinya adalah berkarakter sebagai pribadi yang baik.


Bagaimana seseorang bisa dikatakan berpribadi dan berkarakter yang baik? Semua manusia tentu tidak luput dari kesalahan, dan tidak ada yang sempurna. Meneladani salah satu pahlawan dan tokoh Katolik dari Indonesia, yaitu Albertus Soegijapranata, yaitu Uskup Agung pertama di Indonesia, dengan mottonya “100% Katholik, 100% Indonesia”, kita bisa menjadi pribadi yang lebih positif di tengah masyarakat. Namun, meskipun kita meneladani seseorang, karakter yang baik datang dari keinginan diri sendiri untuk menjadi lebih baik. Ada beberapa karakter Albertus yang ingin kita bahas, yaitu keberanian, ketangguhan, dan rendah hati. Untuk menjadi pribadi yang seperti itu, kita tidak harus menjadi seorang Katholik, namun mempunyai komitmen itu menjadi sesama yang baik. 


Dalam gempuran tantangan duniawi yang kita hadapi sehari-hari, selalu dibutuhkan suatu kekuatan yang membantu kita melaluinya dengan baik. Kekuatan itulah yang dinamakan ketangguhan. Maddi dan Khosaba (2005) mengatakan bahwa ketangguhan mampu membuat seseorang bertahan hidup dan berkembang dalam keadaan penuh dengan tekanan atau stres. Ketangguhan tidak bisa terwujud tanpa bentuk mati raga, yaitu kerelaan untuk mengesampingkan keinginan diatas kepentingan. Contoh-contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang bisa kita terapkan adalah dengan tetap berjuang dalam kegiatan berat yang dilakukan (pekerjaan, tugas sekolah, mengurus anak, dll.) sampai selesai, tidak mudah terdistraksi di tengah kepentingan, dan memilih tanggung jawab diatas kelelahan. Orang Katholik dapat melandaskan perilaku ini dengan ayat “Barangsiapa ingin menjadi terbesar di antara kami, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Matius 20:26), yang menuntut kita untuk melayani orang lain sebelum diri sendiri. 


Keberanian dalam menentang ketidak-adilan dan mengambil risiko adalah suatu kemampuan yang penting kita punya. Dengan keberanian, kita bisa mengambil lebih banyak kesempatan yang tidak bisa kita dapat saat kita merasa takut akan sisi negatifnya, terutama dalam sisi ekonomi. Di atas semua risiko, jika di ujung jalan memberi hasil memuaskan dan sepadan dengan perjuangan kita, keberanian akan menjadi teman terbaik dalam memberi keputusan. Tak hanya itu, di dunia ini, baik politik maupun sehari-hari, kita sudah terbiasa melihat ketidak-adilan dan penderitaan. Keberanian bisa membantu kita memberi kehidupan yang lebih baik dengan melawan sistem yang memberi ketidak-adilan, tak hanya bagi kita, namun bagi sesama kita yang ditindas. 


Soegijapranata (kanan) dan Georges de Jonghe d’Ardoye (kiri) dengan Presiden Soekarno (tengah) pada 1947

Kita dapat meneladani Albertus dengan ketangguhannya dalam cara dia berjuang demi kemerdekaan penuh Indonesia dengan nyawa dan suaranya, tanpa meninggalkan identitasnya sebagai orang Katholik, terutama di saat melawan pendudukan Jepang. Pada masanya, Jepang melakukan banyak penyitaan dan ambil alih Gereja, dan membunuh banyak pastor. Di tengah ketakutan itu, Soegijapranata tetap tangguh dan rela mempertaruhkan nyawanya untuk mengalihkan perhatian tentara Jepang ke gedung lain untuk mencegah penyitaan. Ia juga rela menjadi orang yang mengirim surat ke Kekaisaran Jepang, mengadakan pertemuan dengan komandan Jepang, dan mengkritik Belanda di majalah Commonwealth untuk menghentikan pertempuran dan ketidakadilan meskipun bisa kehilangan nyawa atau kebebasannya. Dari aksi tersebut juga, kita bisa lihat dari Albertus terkait keberaniannya sering ditantang dari aksi melawan ketidakadilan di Indonesia yang ada di masa pendudukan Jepang. 


Teladan dia juga mengurangi stigma bahwa agama Katholik adalah agama penjajah, karena meskipun Albertus adalah seorang Katholik, namun dia juga pribumi dan menjaga hak pribumi dari penjajah dengan tetap berpegang pada Kitab Suci. Ini adalah bentuk keberanian yang memberi manfaat tak hanya untuk diri sendiri, namun bagi orang Katholik lain. Dari itu, keberanian bisa menjadi alat untuk membebaskan diri sendiri dan orang lain dari penindasan, diskriminasi, dll. 


Setelah membaca kisahnya, kita dapat mempelajari bagaimana iman dan cinta tanah air adalah dua hal yang tak terpisahkan dengan kerendahan hati dan mati raga, di mana pedoman dalam Alkitab memberi kita petunjuk untuk rendah hati dan mati raga, bagi diri sendiri, Tuhan, dan bahkan tanah air seperti Albertus Soegijapranata. 


Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *